Connect with us

Hutanpedia

Kampung Laut Cilacap: Cerita Konservasi Hutan Mangrove dan Dampaknya bagi Masyarakat

Published

on

Hutan mangrove Kampung Laut Cilcap

Pelabuhan Sleko Cilacap pagi itu masih lenggang, maklum pukul 06.00 pagi aktivitas masyarakat belum terlampau ramai. Saya bersama tiga teman lainnya tengah menunggu jemputan kapal yang akan membawa kami menuju ke Kecamatan Kampung Laut.

Dari bibir dermaga, teman berteriak memanggil, kapal yang kami tunggu akhirnya tiba. Kami dijemput oleh Andrea dan kawannya yang sudah siap di atas kapal akan mengantarkan kami seharian menyusuri Kampung Laut Cilacap.

Butuh waktu dua jam dari Pelabuhan Sleko untuk menuju Dermaga Motean tujuan kami di Kampung Laut. Selama dua jam itu pula kami akan menyusuri Selat Nusakambangan. Sepanjang perjalanan, sepanjang mata memandang hamparan hutan mangrove dan pohon nipah rapat di pinggir-pinggir daratan bak benteng yang menjaga pertahanan.

Pelabuhan Sleko Cilacap

Barangkali wilayah ini lebih sering terdengar sebagai wisata Kampung Laut Cilacap yang terkenal indah lantaran gugusan pulau-pulau kecil di Segara Anakan. Karena letaknya yang terpisah dari daratan, menjadikan masyarakatnya memilih perahu sebagai moda transportasi utama. Masyarakat biasa menumpang perahu compreng sebagai pilihan perjalanan hilir mudik ke kota. Atau menggunakan perahu pribadi bagi mereka yang sehari-hari melaut sebagai nelayan.

Sebagaimana namanya, masyarakat dan lingkungan Kampung Laut erat dengan hal-hal yang berbau laut, pesisir, termasuk mangrove. Kurang lebih hampir selama dua jam perjalanan sepanjang kiri kanan kami tumbuh pohon mangrove dan nipah. Di beberapa titik, kami banyak menjumpai nelayan yang tengah berhenti menjaring ikan dan kepiting.

Hutan mangrove sepanjang Segara Anakan

Namun siapa sangka, di salah satu sudut wilayahnya, hutan mangrove sempat hilang menyisakan lahan gersang sebelum akhirnya sekelompok masyarakatnya menyulapnya kembali menjadi hijau. Komitmen dan dedikasi dicurahkan puluhan tahun demi kawasan hutan mangrove yang lestari, tetapi mengapa?

Rusak Akibat Tambak Udang

Di Kampung Laut, kami menemui Thomas Heri Wahyono atau biasa disapa Pak Wahyono. Beliau merupakan sosok penggerak aksi penghijauan di Kampung Laut yang sudah berpuluh-puluh tahun mendedikasikan waktu dan tenaga untuk lestarinya hutan mangrove. Wahyono menjadi saksi bagaimana wajah hutan mangrove Kampung Laut Cilacap berubah.

Foto Thomas Heri Wahyono

“Tahun 1995 terjadi penebangan hutan besar-besaran yang dijadikan sebagai tempat budidaya udang tetapi kemudian tidak bertahan lama sampai tahun 1999,”Ungak Wahyono

Alih fungsi lahan memang masih menjadi persoalan yang mendominasi. Iming-iming keuntungan besar acapkali tidak dibarengi dengan tanggung jawab lingkungan. Maka ketika lingkungan rusak masyarakat sendiri sebetulnya yang juga terkena dampaknya.

“Enggak bertahan lama, ternyata udang terkena penyakit, sehingga kami di situ mulai merasa prihatin karena kondisi segara anakan ini ribuan hektare yang rusak akibat dijadikan lahan budidaya, sementara akibat merugi para investor pada kembali ke asalnya masing-masing yang akihirnya meninggalkan lahan gundul dan rusak, dari situ kami mulai melakukan kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan,” Sambung Wahyono.

Baca juga: Thomas Heri Wahyono, Pakar Mangrove dari Kampung Laut Cilacap Mendapat Penghargaan Nasional

Berkurangnya Luas Hutan Mangrove Sama dengan Berkurangnya Pendapatan

Nelayan melaut di sekitar hutan mangrove

Alih fungsi lahan sama artinya dengan berkurangnya luas hutan mangrove. Selain dari sisi lingkungan, rusaknya hutan mangrove Segara Anakan jelas juga berimbas kepada masyarakat yang kebanyakan menggantungkan hidupnya dari hasil laut.

“Saya rasa luas hutan mangrovenya memang berkurang, penangkapan ikannya juga berkurang, lokasi ikannya sulit dicari dibandingkan dulu,” Jelas Jana mantan nelayan yang kini bekerja sebagai buruh sembari melakukan penanaman mangrove.

Jana bercerita tentang dampak hilangnya hutan mangrove terhadap tangkapan nelayan

Jana mengaku dari sisi pendapatan memang berkurang. Hal tersebut tak lain dan tak bukan karena faktor lingkungannya yang berubah dan memengaruhi hasil tangkapan.

“Kalau dulu sama sekarang itu jauh lah pendapatannya, kalau dulu itu kan sungai-sungai masih lebar, hutan-hutan masih utuh, kalau sekarang makin berkurang hutan mangrove, sungai-sungai mengecil, jadi nelayan pas jaring atau menangkap kepiting itu berkurang,” Sambung Jana.

Jana yang dulu sewaktu bujangan melaut menjadi nelayan mengaku sudah beralih profesi. Kini, selain menjadi buruh dirinya bersama Pak Wahyono melakukan upaya konservasi dan pelestarian hutan mangrove Kampung Laut Cilacap.

Baca juga: Cerita Manfaat Penanaman Mangrove bagi Mitra Petani LindungiHutan

Penanaman Dimulai, Puluhan Tahun Menanam, Nyatanya Masih Ada yang Mencibir

Miris akan kondisi hutan mangrove yang gersang, Pak Wahyono tak tinggal diam dan memilih untuk menanam. Dua puluh tahun Pak Wahyono melakukan upaya rehabilitasi mangrove hingga kini akhirnya kondisinya terlihat membaik.

Bersama Kelompok Krida Wana Lestari Pak Wahyono banyak menghabiskan waktu di hutan mangrove baik itu untuk pembibitan, pembersihan, hingga perawatan mangrove.

“Krida itu kerja, wana itu hutan, lestari itu untuk melestarikan, jadi bekerja untuk melestarikan hutan,” Jelas Pak Wahyono.

Pak Wahyono menyebutkan, sudah ada 200 hektare lebih lahan hutan mangrove Kampung Laut yang ditanam dari hasil kerja-kerja pelestarian lingkungan selama puluhan tahun lamanya.

“Mungkin sudah lebih dari 200 hektare yang kami tanam dari tahun 2000 sampai hari ini, mungkin kalau dengan lembaga lain dan bantuan lain udah lebih dari 300 hektare,” Tutur Pak Wahyono.

Kendati demikian, jalan Pak Wahyono tak semulus yang kami bayangkan. Nyatanya cibiran tetap beliau dapatkan. Barangkali, bagi masyarakat kebanyakan apa yang dilakukannya sedikit di luar nalar. Sebab, membayangkan kerja menanam pohon selama puluhan tahun hanya demi hutan mangrove yang kembali hijau dan lestari, rasa-rasanya seperti mimpi yang utopis.

“Kalau cibiran bukan dulu saja, sekarang juga masih banyak cibiran, karena saking banyaknya orang yang belum paham untuk apa mangrove dan kontribusinya apa,” Ujar Pak Wahyono.

Memang, keberadaan mangrove kerap dilihat semata-mata hanya sebagai tanaman pelindung kawasan pesisir. Selebihnya mungkin kayunya yang bisa dijadikan arang atau kayu bakar. Padahal, jika dilihat dari kacamata yang lebih luas ada banyak makhluk hidup yang sedikit banyak menggantungkan hidup pada ekosistem mangrove, termasuk manusia.

“Tapi yang menjadikan kami konsisten selalu menanam, karena mangrove ini penting, karena ternyata mangrove ini menjadi tempat berkembang biak biota laut, dapat mencegah abrasi, dan yang terpenting lagi mangrove ini dapat menyerap karbon yang sangat besar, sehingga itu yang membuat kami jadi semangat,” Sambung Pak Wahyono.

Baca juga: Ekosistem Karbon Biru, Potensi, Simpanan Karbon, dan Tantangan 2024

Melihat Pembibitan Mangrove Kampung Laut Cilacap

Di tengah hari, di sela obrolan dan keliling-keliling Kampung Laut Cilacap, saya sempat diajak Andrea mengunjungi tempat pembibitan mangrove. Sepanjang perjalanan Andrea bercerita bahwa Kecamatan Kampung laut merupakan salah satu produsen bibit mangrove yang cukup tersohor. Berbagai wilayah di pesisir Jawa sempat Andrea kunjungi untuk mengantarkan bibit mangrove pesanan. Bahkan pesanan juga sempat datang dari Sumatera.

Lokasi pembibitan mangrove Kampung Laut Cilacap

Di sini, upaya penanaman dan pelestarian mangrove dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat setempat dari hulu hingga hilir. Dari pembibitan, penanaman, hingga perawatan. Khusus untuk bibit, ada banyak jenis mangrove yang dilakukan pembibitan.

“Kami membuat bibit ada 4 jenis yaitu Rhizophora mucronata, rhizophora stylosa, bruguiera gymnorrhiza, dan bruguiera sexangula,” Terang Andrea.

Di Kampung Laut ada beberapa titik lokasi pembibitan. Saya melihat dua lokasi bersama Andrea. Hari itu kondisinya kosong sebab memang sedang tak ada kebutuhan.  Andrea menceritakan bahwa di waktu pembibitan sedang banyak pesanan, masyarakat yang terlibat bisa mencapai 20 orang.

Andrea menemani ke lokasi pembibitan

“Kalau per tahun jumlah produksinya sampai 500 ribu bibit, terakhir kami bisa lebih dari 500 ribu bibit, dikerjakan oleh 20-30 orang dan itu masyarakat dari Ujung Alang Kampung Laut,” Jelas Andrea.

Dari pesanan bibit mangrove, omset yang didapatkan bisa mencapai ratusan juta per tahun. Ini membuktikan bahwa manfaat mangrove bukan hanya semata dari jasa lingkungannya saja tetapi juga bermanfaat dari segi ekonomi.

Andre menjelaskan bahwa dalam prosesnya, masyarakat akan membagi-bagi peran selama proses pembibitan dilakukan. Untuk kemudian setelah 3-5 bulan bibit siap ditanam.

“Pertama kami ajak teman-teman nyari propagulnya, sebagian itu bikin polybag gitu, lalu setelah kita udah nyari bibit, kita tancapkan ke polybag, kalau sudah siap tanam itu sekitar 3 bulan sampai 5 bulan baru siap tanam,”

Baca juga: Penanaman Mangrove, Ide Program CSR Lingkungan yang Berdampak

Hasil yang Terlihat, Semangat yang Semakin Kuat

Terakhir, sebelum berpamitan dengan Pak Wahyono kami sempat menanyakan perasaan setelah melihat hasil jerih payahnya selama 20 tahun lebih. Baginya, wajah perubahan yang kian membaik di Kampung Laut adalah apa yang dicita-citakan selama ini.

“Tentunya semakin semangat ya Mas, senang, apalagi sudah ada banyak yang terlibat dalam kegiatan kami, yang tadinya masyarakat menghujat mencibir, sekarang sudah banyak yang ikut serta, sehingga ini sebuah kebanggan bagi kami. Soalnya siapa lagi kalau bukan kita yang mau melestarikan hutan ini, dan saat ini sudah banyak yang terlibat dari beberapa daerah/desa di Kampung Laut ini, dari pemerintah juga banyak mendukung dibanding awal-awal kami lakukan sekarang jauh lebih baik,” Pungkas Pak Wahyono.

LindungiHutan Menanam Lebih Dari 800 RIBU Pohon di 50 Lokasi Penanaman Bersama 500+ Brand dan Perusahaan

Muhamad Iqbal adalah SEO content writer di LindungiHutan dengan fokus pada tulisan-tulisan lingkungan, kehutanan dan sosial.